Suku Bangsa Bakumpai di Pulau Kalimantan, Indonesia

 

Suku  Bangsa Bakumpai di Pulau Kalimantan, Indonesia

Nikekuko - Suku Dayak Bakumpai yaitu salah satu subetnis Dayak Ngaju yang  sudah beragama Islam. Suku Bakumpai terutama menetap di sepanjang tepian daerah aliran sungai Barito di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yaitu dari kota Marabahan, sampai kota Puruk Cahu, Murung Raya. 

Secara administratif Suku Bakumpai merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 7,51% dari penduduk Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Bakumpai tergabung ke dalam suku Dayak pada sensus 1930.


Kota-kota utama Dayak Bakumpai yakni:

  • Marabahan, Barito Kuala,
  • Muara Teweh, Barito Utara,
  • Buntok, Barito Selatan,dan
  • Puruk cahu, Murung Raya.


Suku Bakumpai berasal bagian hulu dari bekas Distrik Bakumpai sedangkan di bagian hilirnya yaitu pemukiman orang Barangas (Baraki). Sebelah utara (hulu) dari wilayah bekas Distrik Bakumpai merupakan  wilayah Distrik Mangkatip (Mengkatib) adalah pemukiman suku Dayak Bara Dia atau Suku Dayak Mangkatip. Suku Bakumpai dan suku Mangkatip merupakan keturunan suku Dayak Ngaju dari Tanah Dayak.

Suku Bakumpai banyak menerima pengaruh bahasa, budaya, hukum adat, dan arsitektur Banjar, sebab itu suku Bakumpai secara budaya dan hukum adat termasuk ke dalam golongan budaya Banjar, namun secara bahasa, suku Bakumpai mempunyai  kedekatan dengan bahasa Ngaju. 

 

Asal Usul Dayak Bakumpai
Berdasarkan  asal usul orang Bakumpai rakyat pun menunjukkan hal yang sama.

Dahulu kala, sungai Barito dari Muara Pulau sampai ke sebelah hilir Ujung Panti itu tidak ada. Waktu itu sungai Barito yang ada hanya Muara Pulau terus ke hulu sana. Dari Muara Pulau itu kalau orang mau ke Banjar atau orang Banjar mau ke Barito terpaksa putar  ke sungai Kahayan, yang hanya satu-satunya lalu lintas air Banjar – Barito.


Saat  waktu itu hulu Sungai Barito sana ada sebuah kampung yang bernama Air Manitis, yang didiami oleh suku bangsa Dusun Biaju. Suku itu dipimpin oleh seorang kepala suku yang mempunyai dua orang anak kembar kemanikan (laki-laki dan perempuan). 

 

Anak yang tua pria namanya Patih Bahandang Balau. Ia diberi nama seperti itu, karena rambutnya (balau) merah (bahandang) seperti rambut orang Belanda, sedangkan nama Patih itu bukan nama jabatan akan tetapi memang namanya. Anaknya yang kecil perempuan yang diberi nama Datu Sadurung Malan. 

 

Ia dinamakan demikian karena kelihatannya ia seperti memakai kerudung (tutup kepala) yang biasanya dipakai oleh perempuan yang sedang bertani (malan), sedangkan nama Datu bukan datu yang berarti orang tertua dari nenek, tetapi memang namanya demikian.

Datu Sadurung Malan mempunyai wajah yang cantik jelita, sehingga banyak pemuda yang ingin mempersuntingnya. Karena wajah sangat cantik sehingga kakaknya jatuh cinta padanya. Pernah sekali ia bersama berada di sawah, pada waktu itu kakaknya mengatakan bahwa ia ingin mempersuntingnya. 

 

Tentu saja Datu Sadurung Malan sangat terkejut atas perkataan yang diucapkan  kakaknya sendiri. Setelah kejadian itu Datu Sadurung Malan tidak lagi pergi ke sawah bersama kakaknya, kecuali kalau ada ayahnya, baru ia berani.Waktu terus bergulir, Patih Bahandang Balau makin bertambah keinginannya untuk mempersunting adiknya. Orang tua mereka berdua tidak mengetahui persoalan mereka berdua. Tidak sanggup untuk menahan hatinya lagi, maka Pathi Bahandang Balau mengancam hendak menghabisi nyawa  adiknya kalau adiknya tidak mau kawin dengannya.

 Mendengar ancaman kakaknya itu, Datu Sadurung Malan berpikir hendak kabur.

Waktu tengah malam ketika kakak dan ayahnya sedang tidur terlelap, ia pergi ke luar rumah dan terus turun ke sungai masuk ke dalam perahunya. Dan melepas tali sampannya, dikayuhnya sampannya perlahan-lahan agar supaya tidak kedengaran oleh kakak dan ayahnya.

Ia sangat senang telah jauh dari rumah. Dengan perasaan bercampur aduk karena akan jauh dengan keluarga terdekatnya dipercepatnya kayuhannya, dan bermaksud hendak ke Banjar dan terus ke Jawa.

Sampai di Muara Pulau, ia tidak mau belok ke sungai Kahayan, karena ia takut kalau dikejar-kejar kakaknya. Dibuatnyalah jalanan sendiri. 

 

Ditariknya sampannya sehingga terbentuk sungai kecil. Pada mulanya memang belum ada airnya, tetapi lama kelamaan berair juga karena hujan, hingga akhirnya terbentuk sungai yang banyak dilalui orang. Demikianlah sungai itu bertambah lama bertambah besar dan sampai sekarang dinamai orang Sungai Barito.

Setelah Datu Sadurung Malan sampai ke Banjar, kemudian ia menumpang kapal yang menuju ke pulau Jawa, sedangkan kakaknya Patih Bahandang Balau, sesudah mengetahui adiknya tidak lagi di rumah dan mulai menginsafi dirinya. 

 

Untuk menghibur hatinya yang sakit ia beristri dengan seorang perempuan di kampungnya, sampai beranak cucu. Anak cucunya sampai saat ini masih ada yang sekarang menjadi orang Barito atau orang Dusun Biaju.

Setelah Datu Sadurung Malan mendengar kakaknya sudah mempunyai istri, ia kembali ke Kalimantan. Sebelumnya ia sudah bersuami dan beranak cucu. Anak cucunya hendak dibawanya ke Air Manitis kembali.

Ia heran melihat bekas jalannya dahulu ramai menjadi lalu lintas orang. Ia hendak mendirikan rumah di situ, kemudian ia menaruh ayam jantan ke arah matahati terbit, tetapi ayam itu tidak mau berkokok. Sesudah dihadapkan ke arah seberangnya, ayam itu mau berkokok, ia mempercayai bahwa itulah tandanya kalau tanah disitu baik untuk dibangun rumah.

Dibuatnyalah rumah di sana, sampai akhirnya banyak orang tinggal di situ. Sampai sekarang kampung itu masih ada yang sekarang dinamai Kampung Bakumpai atau Kota Marabahan sekarang.

Seperti itulah asal usul terjadinya sungai Barito, kampung Bakumpai dan kampung orang Dusun.
 

Kisah tentang Patih Bahandang Balau ini tampaknya menceritakan beberapa hal, yakni:

 Asal usul orang Bakumpai,

 
 Larangan insest / perkawinan sedarah dalam suku bangsa Dayak, yakni larinya Datu Sadurung Malan yang tidak mau diperistrikan oleh kakaknya,

Asal mula kejadian sungai Barito,

 Tempat asal usul orang Bakumpai, yakni Kampung Bakumpai di Kota Marabahan sebagai ibu kota Kabupaten Barito Kuala, dan. Hubungan persaudaraan antara Dayak Bakumpai dan Dayak Dusun Biaju.

Kalau ditanyakan kepada orang Bakumpai, asal-usul nenek moyang mereka dan tempat asalnya, mereka pada umumnya mengatakan berasal dari Marabahan, tepatnya dari salah satu kampung di kota Marabahan sekarang ini, yang dulu disebut lebu Bakumpai ‘kampung Bakumpai’. 

 

Ada yang mengatakan bahwa kampung itu ialah kampung Bagus sekarang ini. Nama Bakumpai ini diabadikan, yang meliputi wilayah kota Marabahan dan sekitarnya.

Pada masa sekarang, hampir seluruh masyarakat Dayak Bakumpai beragama Islam sedangkan yang beragama Kristen hampir tidak ada dan relatif sudah tidak tampak religi suku, seperti pada kebanyakan suku Dayak (Kaharingan) lainnya. Upacara adat yang berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan lama, yakni ritual "Badewa" dan "Manyanggar Lebu". 

 

Suku Bakumpai memeluk agama Islam diperkirakan pada akhir Abad ke-16 tepatnya pada tahun 1688 Masehi. Pengaruh ajaran Islam terlihat hampir di setiap aspek kehidupan masyarakat Bakumpai, seperti: sistem kemasyarakatan, kekerabatan, gaya hidup, bahkan dalam unsur kesenian. Daerah Marabahan, merupakan pusat kediaman suku Bakumpai, yang telah banyak menghasilkan ulama-ulama besar yang menyebarkan agama Islam sampai ke hulu Sungai Barito.


Etimologis


Secara etimologis, bakumpai adalah julukan bagi suku dayak yang mendiami daerah aliran sungai barito.

Bakumpai berasal dari kata ba (dalam bahasa banjar) yang artinya memiliki dan kumpai yang artinya adalah rumput. Dari julukan ini, dapat dipahami bahwa suku ini mendiami wilayah yang memiliki banyak rumput. menurut legenda, bahwa asal muasal Suku Dayak Bakumpai adalah dari Suku Dayak Ngaju yang akhirnya berhijrah ke negeri yang sekarang disebut dengan negeri Marabahan.

Pada mulanya mereka menganut agama nenek moyang yaitu kaharingan, hal ini dapat dilihat dari peninggalan budaya yang sama seperti Suku Dayak lainnya, seperti (Batatenga|bubur bahandang), mempercayai adanya nilai magis pada beras kuning (Behas Bahenda), mempercayai bahwa burung elang (burung antang) dapat membawa sebuah berita kematian, kekuatan rohani/batin disebut dengan istilah (batekang hambaruan), dan adanya tradisi (tampung tawar).


kemudian, pada suatu hari mereka menjumpai akan wilayah itu seseorang yang memiliki kharismatik, yang apabila dia berdiri di suatu tanah, maka tanah itu akan ditumbuhi rumput. Orang tersebut tidak lain adalah Nabiyullah Khidir as.

Di dalam cerita mereka kemudian masuk agama Islam dan berkembang biaklah mereka menjadi suatu suku. suku bakumpai adalah julukan bagi mereka, karena apabila mereka belajar agama di suatu daerah dengan gurunya khidir, maka tumbuhlah rumput dari daratan tersebut, sehingga kemudian mereka dikenal dengan suku bangsa bakumpai.

Suku Dayak Bakumpai dahulunya memiliki suatu kerajaan yang lebih tua dibandingkan dengan kerajaan daerah Banjar, akan tetapi karena daya magis yang luar biasa akhirnya kerajaan ini berpindah ke Sungai Barito dan rajanya dikenal dengan nama Datuk Barito.

Dari daerah Marabahan ini kemudian mereka menyebar ke hulu Sungai Barito.
Dari cerita rakyat, bahwa ada suatu daerah di Kabupaten Murung Raya yaitu Muara Untu pada mulanya hanyalah suatu hutan belantara yang dikuasai oleh bangsa Jin bernama Untu. 

Kemudian ada dari Suku Bakumpai yang hijrah kesana dan mendiami daerah tersebut yang bernama Raghuy. sampai sekarang jika ditinjau dari silsilah orang yang mendiami muara untu, mereka menamakan moyang mereka Raghuy.

Dalam hal matapencaharian, masyarakat Dayak Bakumpai umumnya mengandalkan aktivitas pertanian. Aktivitas pertanian biasanya mereka lakukan di lahan gambut. Masyarakat Dayak Bakumpai cenderung mencari lahan pertanian baru untuk mengganti lahan pertanian lama. 

 

 Hal itu tentunya berbeda dengan Suku Dayak lain yang kebanyakan lebih memilih untuk tetap memberdayakan lahan yang lama. Selain itu, aktivitas pertanian yang mereka lakukan biasanya hanya untuk memproduksi satu jenis komoditas tertentu, yaitu padi. 

 

Hal itu mereka lakukan karena kebutuhan mereka hanya untuk memenuhi urusan pangan saja. Namun demikian, pertambahan jumlah penduduk yang diiringi dengan peningkatan kebutuhan pangan “menuntut” mereka untuk melakukan perluasan lahan pertanian yang lebih masif.

Meskipun melakukan pembukaan lahan lumayan masif, masyarakat Dayak Bakumpai tetap memperhatikan unsur-unsur kelestarian alam. Mereka tidak membuka lahan secara sembarangan. Mereka percaya bahwa alam dititipkan nenek moyang untuk dijaga. 

 

Kepercayaan tersebut mereka wujudkan dalam bentuk kearifan lokal yang secara turun temurun telah mampu mencegah terjadinya kebakaran dan menjaga kualitas lahan gambut, namun tetap menghasilkan produk pertanian yang memuaskan.
Beberapa bentuk kearifan lokal tersebut diwujudkan dalam :
 

- Pembuatan Tatas berupa sekat bakar di sekeliling ladang yang dilakukan dengan cara menebas semak dan rumput selebar rata-rata dua meter agar api tidak keluar ladang.


-Pembuatan Beje berupa kolam penangkapan ikan yang terbentuk pada cekungan-cekungan rawa yang dalam. 

Pada saat air pasang, Beje akan terisi air hingga tergenang. Pada saat surut, air tersisa pada cekungan-cekungan rawa yang dalam dan ikan terkumpul, sehingga masyarakat dapat memanen ikan tersebut. Seiring berjalannya waktu, Beje dibuat oleh masyarakat dengan membuat lubang tanah gambut hingga membentuk kolam-kolam dengan lebar 1-2 meter dan panjang antara 10-50 meter dengan kedalaman rata-rata 2 meter.


    Penggarapan tanah menggunakan Tajak berupa parang panjang yang digunakan untuk memotong rumput dengan cepat dan rata. Kemudian, rumput tersebut dibiarkan tetap menjadi pupuk alami. Pemakaian tajak tersebut mampu meminimalisir gangguan terhadap tanah karena tidak membalik permukaan tanah, sehingga lahan dapat terhindar dari penyingkapan lapisan pirit.


    Sistem pembagian lahan borongan yang dibatasi dengan batangan atau guludan. Batangan dibuat sebagai pembatas lahan agar pembakaran lahan tidak menjalar ke area lain dengannya.

Silsilah Dayak Bakumpai

 Menurut Tjilik Riwut, Suku Dayak Bakumpai merupakan suku kekeluargaan yang termasuk golongan suku (kecil) Dayak Ngaju. Suku Dayak Ngaju merupakan salah satu dari 4 suku kecil bagian dari suku besar (rumpun) yang juga dinamakan Dayak Ngaju (Ot Danum).

Mungkin adapula yang menamakan rumpun suku ini dengan nama rumpun Dayak Ot Danum. Penamaan ini juga dapat dipakai, sebab menurut Tjilik Riwut, suku Dayak Ngaju merupakan keturunan dari Dayak Ot Danum yang tinggal atau berasal dari hulu sungai-sungai yang terdapat di kawasan ini, tetapi sudah mengalami perubahan bahasa. Jadi suku Ot Danum merupakan induk suku, tetapi suku Dayak Ngaju merupakan suku yang dominan di kawasan ini.

Suku Dayak (suku asal), terbagi suku besar (rumpun):

  •     Dayak Laut (Iban)
  •     Dayak Darat
  •     Dayak Apo Kayan / Kenyah-Bahau
  •     Dayak Murut
  •     Dayak Punan
  •     Dayak Ngaju / Ot Danum, terbagi 4 suku kecil: 
 
                               1.  Dayak Maanyan
                               2.  Dayak Lawangan 
                               3.  Dayak Dusun
                               4.  Dayak Ngaju, terbagi beberapa suku kekeluargaan:
                                             -Dayak Bakumpai,  dan lain-lain


Perbandingan hubungan suku Bakumpai dengan suku Dayak Ngaju, seperti hubungan suku Tengger dengan suku Jawa. Suku Dayak Ngaju merupakan suku induk bagi suku Bakumpai.